Siapa Bermain di Balik Penggunaan Simbol Organisasi Terlarang?

Penulis:   Yon Bayu Wahyono | Editor:  Yon Bayu Wahyono
oleh
Ilustrasi

ANEH. Hingga 2 minggu berlalu, belum ada kejelasan apalagi pihak-pihak yang dijadikan tersangka penggunaan atribut Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dilarang.

Hal ini kian menguatkan asumsi adanya operasi intelijen seperti dituduhkan sejumlah pihak. Kita pun sudah bisa membayangkan kesuraman demokrasi ke depan.

Seperti diketahui, sebelumnya dalam waktu berdekatan dua kelompok menggelar deklarasi dukungan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan untuk maju sebagai calon presiden (capres).

Dukung-mendukung hingga deklarasi yang dilakukan kelompok masyarakat untuk tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi kandidat dalam sebuah kontentasi electoral merupakan hal yang lumrah.

Namun deklarasi dukungan yang dilakukan sekelompok orang dalam tiga hari terakhir tersebut menimbulkan keresahan karena membawa-bawa atribut organisasi terlarang yakni FPI dan HTI.

Deklarasi pertama digelar di Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (6/6/2022). Saat itu sekelompok orang yang mengatasnamakan FPI Reborn menggelar aksi dekalarsi sambil mengibarkan bendera FPI berwarna hijau.

Sejumlah mantan tokoh FPI yang sekarang bergabung dalam Front Persaudaraan Islam mengatakan tidak tahu-menahu dan menuding sebagai bagian dari operasi intelijen.

Dua hari kemudian, tepat Rabu (8/6/2022) kembali sekelompok orang menggelar aksi deklarasi mendukung Anies. Pada acara yang digelar di sebuah hotel di kawasan Tebet Jakarta Selatan itu, tampak dikibarkan bendera yang selama ini dipersepsikan sebagai simbol HTI.

Menurut Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Ridwan Soplanit, aksi digelar oleh LSM Damai dan saat ini pihaknya tengah melakukan penyelidikan (Kompas.com, 8/6/2022).

Kita mengutuk keras dua kegiatan yang nyata-nyata mempertontonkan cara-cara yang tidak baik dalam berdemokrasi. Kita mendukung sepenuhnya upaya pihak kepolisian mengusut kedua peristiwa tersebut karena sangat mungkin saling berkait.

Ada dua kemungkinan siapa pelaku di balik aksi deklarasi tersebut. Pertama, pihak-pihak yang ingin menjatuhkan citra Anies seperti yang sudah didengungkan selama ini.

Kita tidak menafikan pada Pilkada DKI Jakarta 2017, FPI memberikan dukungan kepada Anies yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno.

Namun posisi FPI saat itu masih legal, memiliki kedudukan hukum dan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

FPI baru menjadi organisasi terlarang setelah keluar surat keputusan bersama yang diteken Menteri Dalam Negeri, Men Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT.

Larang efektif berlaku mulai 30 Desember 2020, jauh setelah Pilkada Jakarta. Pemerintah menganggap FPI telah bubar karena tidak memperpanjang Surat keterangan Terdaftar (SKT) sejak 20 Juni 2019.

Sedang HTI sudah dilarang sebelum FPI dan tidak pernah melakukan aksi terang-terangan karena segala bentuk kegiatan dan penggunaan simbolnya dapat dipidana.

Dari fakta-fakta di atas, deklarasi dukungan kepada Anies yang digelar dengan menonjolkan simbol-simbol organisasi terlarang sangat mungkin memiliki tujuan untuk menjatuhkan.

Terlebih, foto-foto deklarasi dengan menggunakan simbol organisasi terlarang, dalam sekejap dan dalam waktu nyaris bersamaan, diunggah oleh akun-akun media sosial yang selama ini kontra dengan Anies, disertai narasi “kejam”.

Kedua, deklarasi dukungan dengan menggunakan simbol organisasi terlarang merupakan bagian dari grand design untuk merusak demokrasi. Seperti kita ketahui, ada pihak-pihak yang tidak nyaman dengan keberhasilan demokrasi yang kita nikmati sekarang.

Upaya untuk mengembalikan tatanan zaman kegelapan demokrasi terus didengungkan dengan menggunakan alasan-alasan seperti pandemi dan ekonomi.

Wacana penundaan pemilu hingga penambahan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945, yang telah ditolak berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa termasuk partai-partai politik, belum sepenuhnya padam. Masih ada letupan-letupan kecil.

Dengan menaikan suhu politik melalui isu-isu sensitif seperti FPI dan HTI, bukan mustahil akan merusak tahapan pemilu dan bermuara pada seruan untuk tujuan di atas.

Namun kita tidak memungkiri adanya kemungkinan kedua aksi deklarasi bagian dari skenario politik pendukung tokoh tertentu yang jagoannya diuntungkan dari kasus tersebut.

Kita tegas menolak cara-cara demikian. Kita menolak black campaign sebagaimana kita juga menolak penggunaan simbol agama dan kesukuan dalam menghadapi gelaran Pemilu Pemilhan Presiden (Pilpres) 2024.

Kita ingin seluruh bakal calon yang merasa memiliki kemampuan dan dukungan untuk mengikuti Pilpres 2024 menggunakan prestasi dan tawaran program kerja guna meraih simpati publik.

Silakan para pendukungnya membeber prestasi Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Erick Thohir, dan lainnya.

Kita wajib memberikan dukungan kepada pihak kepolisian untuk menangkap dan mempidanakan pelaku yang telah memakai simbol dan atribut organisasi terlarang, apa pun motifnya.

Jangan pernah memberi ruang, sekecil apapun, kepada kelompok-kelompok yang ingin merusak demokrasi. Sebab ongkos sosialnya terlalu besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *