Metasatu.com – Romantisme keberhasilan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar “memaksa” Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, sepertinya menjadi inspirasi dalam memainkan langkah politiknya saat ini.
Secara terbuka, Muhaimin menjadikan pencapresan dirinya sebagai syarat koalisi. Misalnya, saat ditanya peluangnya melebur PKB dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Dengan lugas Muhaimin mengatakan, hanya akan membawa partainya jika KIB mengusungnya sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres).
Demikian juga ketika melakukan penjajakan Koalisi Semut Merah (KSM) dengan PKS. Petinggi PKB langsung menyeru duet Muhaimin-Anies Rasyid Baswedan. KSM dinilai sebagai representasi dua kutub Islam, tradisional dan perkotaan, dan diklaim dapat semakin mengurangi ketegangan akibat politik pembelahan yang dirasakan dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak diragukan lagi, keinginan Muhaimin nyapres sangat militan. Terakhir bahkan sesumbar akan menggandeng Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai cawapres. Dalam hal “kebisingan”, Muhaimin mengalahkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Tetapi benarkah Muhaimin ingin nyapres? Sebagai pemimpin partai yang memiliki 58 kursi di DPR dan raihan 13 juta suara lebih pada Pemilu 2019, wajar jika Muhaimin memiliki syahwat politik untuk menjadi presiden, minimal wapres.
Namun jika dilihat dari beberapa hal ini, langkah politik Muhaimin lebih pada upaya menaikan posisi tawar partainya sebagaimana yang dilakukan di Pilpres 2019.
Pertama, tentu saja elektabilitasnya yang sangat rendah sebagaimana hasil survei berbagai lembaga. Kecenderungan keterpilihannya ada di kelompok satu persen bersama Ketua DPR Puan Maharani, Airlangga dan juga AHY.
Hasil survei memang bukan segalanya, namun dapat memengaruhi persepsi publik. Sementara PKB masih membutuhkan partai lain agar dapat dirangkai menjadi perahu untuk mengusung pasangan calon dalam kontestasi Pilpres 2024.
Dalam konteks ini, Muhaimin hanya mungkin dipasang sebagai cawapres jika partai mitra memiliki 57 kursi lebih dan sudah memiliki capres dengan elektabilitas tinggi. Misal Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto sebagai capres.
Sayangnya, duet Prabowo-Muhaimin masih minim diperhitungkan dalam berbagai survei. Lembaga-lembaga survei lebih fokus melakukan simulasi hanya di antara bakal calon yang memiliki peluang dan elektabilitas tinggi.
Kedua, Muhaimin memiliki peluang serupa di Pilpres 2019. Nyatanya namanya tidak masuk dalam bursa cawapres baik untuk Prabowo maupun Jokowi. Muhaimin akhirnya tidak ngotot. Justru kemudian menggandeng M. Romahurmuziy (ketum PPP saat itu), untuk “menekan” Jokowi agar mengambil Ma’ruf Amin sebagai cawapres.
Upaya Muhaimin memicu perdebatan luas karena membawa-bawa nama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari “paket” dukungan PKB dan PPP. Bahkan Mahfud Md yang konon sudah dihubungi untuk fitting baju, distempel bukan kader NU oleh Ketua Umum PBNU (saat itu) KH Said Aqil Siradj.
Ketiga, Muhaimin bukan tokoh yang merepresentasikan NU. Penolakan sebagian Gusdurian sebagai buntut rebutan PKB dengan Yenny Wahid, masih membekas dan sering meletup ketika Muhaimin melakukan klaim. Ditambah perseteruannya dengan PBNU di bawah pimpinan KH Yahya Cholil Staquf.
Perseteruan dipicu keinginan Gus Yahya untuk mengembalikan marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang hanya mengurusi umat dari sisi agama, pendidikan dan ekonomi. Keinginan Gus Yahya juga sejalan dengan seruan berbagai pihak, termasuk Presiden Jokowi untuk mengikis politisasi agama dan identitas kesukuan dalam kontestasi elektoral.
Kebijakan Gus Yahya dianggap merintangi jalan Muhamin. Dengan tidak diperbolehkannya pengurus dan atribut ke-NU-an digunakan dalam politik praktis, maka langkah politik Muhaimin yang selama ini ditopang kader-kader NU struktural, seperti dalam kasus penolakan Mahfud Md sebagai cawapres Jokowi, menjadi tersendat.
Pasca teguran PBNU terhadap PCNU Sidoarjo dan Banyuwangi yang dianggap memfasilitasi deklarasi pencapresan Muhaimin, belum ada PCNU yang berani melakukan pelanggaran serupa. Terlebih setelah Muhaimin terangan-terangan menabuh “genderang perang”.
Ungkapan “NU Kultural Wajib Ber-PKB, Struktural Sakarepmu” menimbulkan luka bagi Nahdliyin yang masih menghormati kiai dan dipastikan sulit disembuhkan.
Bukan rahasia lagi, mayortias pengurus PBNU adalah kiai kharismatik dan memiliki pondok pesantren di daerahnya. Mereka umumnya berada di posisi Mustasyar (penasihat) dan Syuriyah (pembina) yang memiliki Rais Aam sebagai penentu arah kebijakan organisasi.
Keempat, Muhamin bukan pemain kunci dalam percaturan politik kekinian. Terlebih setelah PKB “diceraikan” NU. Hal ini juga jawaban mengapa nama Muhaimin tidak masuk dalam simulasi capres/cawapres lembaga-lembaga survei.
Situasi semakin tidak menguntungkan Muhaimin karena PKB sedang tidak berada di titik pesona. Tiga koalisi di Pilpres 2024 tetap bisa terbentuk tanpa PKB. Pada posisi ini maka Muhaimin harus berani mengubur mimpinya maju sebagai capres/cawapres.
Jika pun dimaksudkan sebagai upaya menaikan bargaining position PKB, juga harus diakhiri karena yang terjadi bisa sebaliknya. Muhaimin masih bisa menjadi king maker dalam pilpres mendatang jika berani membentuk koalisi keempat bersama PKS dan Demokrat. Dengan syarat, wajib mengusung capres yang memiliki elektabilitas tinggi.