Lobi Tingkat Tinggi demi Tunda Pemilu

Penulis:   Yon Bayu Wahyono | Editor:  Yon Bayu Wahyono
oleh
Airlangga bertemu Surya Paloh. Foto: Tirto

Metasatu.com – Di tengah menguatnya wacana penundaan Pemilu 2024, dua poros utama koalisi pemerintah melakukan pertemuan strategis. Lobi politik dengan mengusung agenda besar sulit ditutupi.

Pertemuan pertama dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Bogor, Kamis (10/3/2022). Meski dalam pertemuan pusat Persemaian Modern Rumpin, disebutkan Megawati dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), namun tentu juga tidak melepas posisinya sebagai ketum PDIP.

Pada hari yang sama, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menemui Ketua Umum Partai Nadem Surya Paloh di kantor DPP Partai Nasdem, Cikini Jakarta Pusat. Seperti halnya pertemuan Jokowi dengan Megawati, Airlangga dan Surya Paloh pun menyebut dalam pertemuan tersebut tidak dibahas soal wacana penundaan Pemilu 2024.

Seperti diketahui PDI Perjuangan dan Nasdem telah menegaskan menolak wacana penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Jokowi maupun Megawati memiliki nafas yang sama di mana keduanya tunduk pada konstitusi yang mengatur pemilu tiap lima tahun sekali.

“Artinya pemilu berikutnya tetap dilakukan pada tahun 2024,” tegas Hasto.

Sedang Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali juga menampik pertemuan bosnya dengan Airlangga membahas soal usulan penundaan pemilu.

“Nasdem itu sudah final tentang penundaan pemilu,” kata Ali kepada wartawan.

Benarkah demikian? Kita tentu mengapresiasi para petinggi partai yang tetap menjalankan amanat konstitusi tanpa tergiur wacana yang dapat menjerumuskan demokrasi ke titik paling kelam. Belum genap 25 tahun kita melakukan reformasi dan sejauh ini belum terlihat kemajuan berarti.

Bahkan tuntutan reformasi seperti pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pemerataan pembangunan yang berkeadilan, semakin menjauh. Reformasi telah “dibajak” sehingga apa yang kita lihat hari ini sangat mirip dengan kondisi sebelum reformasi 1998.

Korupsi beranak-pinak merambah semua sektor secara terang-terangan, KKN dipertontonkan secara telanjang, keadilan sosial sudah kembali menjadi mimpi. Para pejabat tidak malu-nalu lagi memamerkan penambahan kekayaan di tengah meningkatnya angka kemiskinan karena pandemi Covid-19.

Kita sepakat teroris dan terorisme tidak boleh tumbuh di bumi pertiwi. Tidak memberikan ruang sedikit pun kepada kelompok-kelompok yang ingin mengubah dasar negara.

Namun kita juga dapat merasakan adanya upaya mempolitisasi isu radikalisme dan teorisme dengan tujuan-tujuan terselubung. Labelisasi radikal dan teroris dengan mudah disematkan hanya karena perbedaan cara pandang.

Para penyelenggara negara seolah telah menjadi negara itu sendiri sehingga tidak boleh dikritik. Bahkan mereka yang bersuara keras terhadap ketidakmampuan pemerintah mengatasi harga minyak goreng hingga berbuntut kelangkaan di pasaran, “dibungkam” dengan narasi-narasi yang selevel teroris.

Bukan soal apakah kita mampu membeli minyak goreng seharga Rp 70 ribu per liter atau tidak. Tetapi fakta bahwa pemerintah tidak mampu mengamankan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp 11.500 per liter, adalah hal yang sangat menyedihkan.

Ada 4 hal mengapa kita menduga agenda penundaan pemilu menjadi poin penting pertemuan Presiden Jokowi dengan Megawati dan Airlangga dengan Surya Paloh.

Pertama, PDIP dan Nasdem ada dua partai yang telah menyatakan penolakannya terhadap penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan pesiden. Jika kedua partai ini berubah haluan, maka jalan penundaan pemilu terbuka lebar melalui amandemen UUD 1945.

Kedua, perubahan sikap Jokowi terhadap isu penundaan pemilu. Jika awalnya Jokowi menolak tegas, kini terlihat mulai lunak dan menganggap usulan tersebut sebagai bagian dari demokrasi.

Ketiga, kecil kemungkinan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia disusul Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan belakangan Airlangga melontarkan wacana penundaan pemilu sekedar gimmick politik. Sebab resikonya terlalu besar karena berkaitan dengan konstitusi. Kita meyakini sudah ada deal-deal tertentu di belakang.

Terlebih kemudian beredar kabar adanya pertemuan dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelum wacana itu dimunculkan. Sejauh yang kita ketahui, Luhut adalah orang terdekat Jokowi dan memegang sejumlah posisi penting di lingkar Istana.

Keempat, sampai hari ini anggaran untuk Pemilu 2024 belum dicairkan sehingga sangat mungkin mempengaruhi tahapan pemilu yang telah disusun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasan bahwa anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 belum dilantik presiden, menguatkan adanya “skenario berbeda” di baliknya.

Dari gambaran itu, pertemuan Jokowi Megawati dan Airlangga – Surya Paloh di saat bersamaan, tidak dapat dimaknai sebatas seperti yang muncul di media massa.

Dan kita mengkhawatirakan hal itu. Sebab, meminjam istilah yang digunakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, jika penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden dipaksa melalui amandemen UUD 1945 berarti pengkhianatan kepada negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *