Metasatu.com – Presiden Joko Widodo disebut menyetujui 5 tuntutan yang diajukan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Sebagai balasannya, para kepala desa akan segera mendeklarasikan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk menjabat 3 periode.
Dua hal itu mengemuka dalam acara Silaturahmi Nasional APDESI 2022 yang digelar di Istora Senayan Jakarta, Selasa (29/2/2022). Menurut Ketua APDESI Surtawijaya, karena Jokowi akan memenuhi tuntutan mereka maka sebagai imbalannya, para kepala daerah akan mendeklarasikan dukungan 3 periode.
“Habis Lebaran kami deklarasi (dukungan Presiden Jokowi tiga periode). Teman-teman di bawah kan ini bukan cerita, ini fakta, siapa pun pemimpinnya, bukan basa-basi, diumumkan, dideklarasikan apa yang kita inginkan,” ujar Surtawiajaya kepada media.
Belum diketahui siapa yang mengumpulkan para kepala desa dan anggaran yang digunakan. Selain Jokowi, kegiatan tersebut dihadiri Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Kehadiran Luhut tentu menimbulkan tanda tanya karena pemerintah desa yang secara hierarki berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, bukan wilayah Kemenko Kemaritiman dan Investasi, melainkan Kemenko Politik, Hukum dan Keamanan.
Terlebih Luhut terang-terangan menjadi lokomotif penguatan isu penundaan pemilu. Luhut menyebut dari percakapan 110 juta akun di media sosial, 60 persen menghendaki Pemilu 2024 ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi dan biaya penyelenggaraan pemilu yang terlalu besar.
Banyak yang menduga, mencuatnya wacana penundaan pemilu yang dibarengi dengan perpanjangan masa jabatan presiden, atau diperbolehkannya Presiden Jokowi mencalonkan diri untuk periode ketiga pada pemilihan presiden 2024, didesain dari orang-orang dalam (inner circle) Istana. Mereka khawatir, banyak proyek milik pribadi-pribadi di lingkungan Istana yang ikut tergusur jika Jokowi lengser 2024 mendatang.
Perlu pembuktian lebih lanjut untuk sampai pada kesimpulan pengerahan kepala desa dimaksud untuk membuktikan rakyat mendukung 3 periode atau penundaan pemilu sesuai big data yang disampaikan Luhut.
Bancakan Dana Desa
Ada bahaya besar yang sedang mengintai manakala presiden memenuhi 5 tuntutan APDESI yakni:
1. pencairan honor kades setiap bulan
2. penambahan dana operasional 3 persen dari dana desa,
3. pengubahan stempel desa,
4. penyederhanaan proses pencairan SPJ,
5. pemberian diskresi untuk penggunaan BLT Desa
Poin kedua dan kelima membuka peluang terjadinya korupsi yang dilegalkan. Poin kedua akan memberikan dana cuma-cuma sebesar Rp 33, juta per tahun kepada kepala desa dari Dana Desa. Jumlah yang lumayan besar karena kepala desa sudah memperoleh honor paling rendah Rp 2,2 juta per bulan ditambah pendapatan lain yang berasal dari kekayaan desa masing-masing.
Sedang poin kelima, kepala desa akan memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana bantuan langsung tunai (BLT) yang berasal dari Dana Desa. Artinya, penerima BLT akan ditentukan oleh kepala desa.
Poin ini sangat rawan karena faktor like and dislike bisa menjadi tolok-ukur dalam menentukan warga yang menerima atau tidak menerima BLT. Terlebih jika kepala desanya masih memiliki ambisi untuk mengikuti pemilihan kepala desa periode berikutnya. Kasus-kasus penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah bisa menjadi rujukan terhadap potensi tersebut.
Jika Dana Desa lebih banyak digunakan untuk operasional kepala desa dan bansos, maka tujuannya telah diselewengkan. Ingat, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tujuan disalurkannya Dana Desa sebesar Rp 1 miliar per tahun adalah sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis.
Jelaslah, Dana Desa tidak bertujuan untuk memperkaya kepala desa. Apalagi jika pemberian “hadiah’ oleh presiden kemudian dibalas dengan dukungan politik yang menabrak konstitusi.
Kita tidak ingin konstitusi yang melindungi demokrasi dimainkan sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi orang per orang. Harus dicatat bahwa penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodisasi masa jabatan presiden melanggar UUD 1945.
Jika kemudian dipaksakan melalui amandemen, kita layak menyebutnya sebagai makar terhadap konstitusi dan mengkhianati tujuan reformasi 1998 yang telah mengorbankan nyawa para mahasiswa.