Metasatu.com – Dalam beberapa hari terakhir, muncul peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum pendidik kepada muridnya, terutama pengasuh pondok pesantren kepada santriwatinya.
Pelecehan seksual bukan hanya terjadi di level Sekolah Dasar (SD), namun juga perguruan tinggi. Pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren juga bukan hanya terjadi di tingkat pendidikan kanak-kanak, namun juga dewasa.
Dari sini, kita tidak bisa mengeneralisir bahwa pendidikan di pondok pesantren (ponpes) rawan terjadinya pelecehan seksual. Peristiwa yang terjadi di Bandung, Banyuwangi hingga Jombang, bukan alas pembenar pendidikan di ponpes “berbahaya”.
Namun kita pun tidak menafikan, model pendidikan di ponpes menjadi tantangan tersendiri, terutama yang didirikan dan dikelola oleh pribadi dan rekrutmen pengajarnya atas dasar hubungan kekerabatan semata.
Tentu sulit dipantau terutama dalam hal penerapan kurikulum pendidikan dan “muatan lokal” yang diajarkan. Bukankah atas dasar prinsip “muatan lokal” ada sejumlah ponpes memiliki mata pelajaran tambahan selain kurikulum dari Kementerian Agama?
Dari sini awal mula munculnya pembenaran terhadap ajaran-ajaran yang “menyimpang” yang semata-mata bertujuan untuk pemuas nafsu.
Tentu saja pelecehan seksual yang saat ini marak terjadi di lingkungan ponpes juga bukan bagian dari ajaran agama islam. Ingat, ponpes sudah menjadi lembaga pendidikan jauh sebelum Indonesia mengenal sekolah umum.
Fakta lainnya adalah kasus serupa juga pernah terjadi di lingkungan lembaga pendidikan agama lain, dan bahkan di lingkungan tempat ibadah.
Kita percaya, tidak ada agama yang mengajarkan hal demikian itu. Apa yang terjadi, hanya ulah oknum yang memanipulasi ajaran agama untuk pemuas nafsu bejatnya.
Kita pun menyeru kepada penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal agar menimbulkan efek jera (shock therapy) sekaligus pesan kepada yang lain agar tidak terjerumus pada hal yang sama.
Namun pengungkapan dan penegakan hukum terhadap perilaku pelecehan seksual di lembaga pendidikan tidak memuat adanya tujuan lain. Masyarakat akan percaya akan hal itu jika penegakan hukum dilakukan secara transparan dan adil, berlaku sama tanpa melihat “posisi kakinya”.
Kita berharap dengan sungguh-sungguh agar tidak ada pihak yang memanfaatkan peristiwa yang ada untuk membenarkan hal-hal di luar kepentingan pendidikan. Pembenahan sistem pendidikan, pengawasan, dan perlindungan siswa didik, baik di sekolah umum maupun ponpes, harus menjadi tanggung jawab bersama.