Awasi MPR Agar Tak Lakukan Amandemen UUD 1945

Penulis:   Yon Bayu Wahyono | Editor:  Yon Bayu Wahyono
oleh
Ilustrasi rapat paripurna MPR. Foto: Ist

WACANA amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sempat berhembus kencang pada medio 2021. Jika dikaitkan dengan munculnya guliran penundaan Pemilu 2024 oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan,, maka rakyat harus siaga agar tidak terjadi patpulipat di Senayan.

Wacana amandemen pernah disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) ketika menghadap Presiden Joko Widodo, 13 Agustus 2021 di Istana Bogor. Menurut Bamsoet, Jokowi menyetujui wacana amandemen terbatas untuk menghadirkan kembali kewenangan MPR menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Saat itu Bamsoet mengatakan, amandemen merupakan tugas konstitusional anggota MPR periode 2019-2024 yang direkomendasikan anggota periode sebelumnya. Meski demikian prosesnya sangat panjang.

Saat itu MPR tengah menggodok kajian atas PPHN dan dijadwalkan selesai awal 2022. Badan Pengkajian MPR RI terdiri dari para anggota DPR RI lintas fraksi dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama sejumlah pihak terkait terus menyusun hasil kajian PPHN dan naskah akademiknya.

Pengkajian PPHN juga melibatkan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR dan pakar dari berbagai disiplin ilmu, perguruan tinggi, lembaga dan kementerian negara.

Sampai saat ini belum ada laporan apakah saat ini kajian tersebut sudah selesai atau masih dalam pembahasan.

Jika ternyata sudah selesai maka selanjutnya pimpinan MPR akan menjalin komunikasi dengan pimpinan partai politik, kelompok DPD, dan stakeholder lainnya untuk membangun kesepahaman tentang urgensi adanya PPHN.

Apabila semua pimpinnan partai politik telah sepakat dan menugaskan anggotanya untuk mengajukan amendemen, maka pimpinan MPR baru akan mengurus teknis administrasi pengajuan usul amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sesuai pasal 37 UUD 1945.

Artinya, disetujui tidaknya amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN sangat tergantung dinamika politik yang berkembang serta keputusan partai politik dan kelompok DPD.

Namun ingat, lembaga legislatif era sekarang sudah terbiasa bekerja suprkilat, bahkan andai naskah yang dihasilkan cucuk-cabut. Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja hingga menjadi UU, dapat dijadikan contoh. Bahkan UU Ibu Kota Negara (OKN) Nusantara selesai dibahas hanya dalam waktu 43 hari.

Tentu bukan karena yang membahas superpinter, melainkan “tidak dibahas”. Mereka terlalu malas untuk membahas per item seperti dalam Omnibus Law Cipta Kerja sehingga ketika sudah disahkan masih banyak perbaikan.

Dari sinilah kita kuatir jika amandemen dilaksanakan oleh anggota MPR saat ini, akan terjadi hal yang sama. Sebab setengah lebih anggota MPR berasal dari DPR yang mengesahkan Omnibus Law dan UU IKN Nusantara.

Kita harus terjaga sepanjang hari untuk mengawasi kasak-kusuk di MPR sebelum semuanya menjadi tak terkendali. Sebab faktanya, saat ini proses amandemen UUD 1945 masih berjalan. Bakan Fraksi PDI-P di MPR menyerukan agar agenda amendemen terbatas UUD 1945 tidak dilaksanakan oleh anggota MPR periode sekarang.

Agenda Tersembunyi

Jika amandemen UUD 45 tetap dilaksanakan saat ini, maka kekuatirannya bukan lagi soal kemungkinan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga memiliki kewenangan menyusun PPHN, semacam GBHN di era Orde Baru, namun juga masuknya agenda tersembunyi (hidden agenda)untuk mengutak-atik masa jabatan presiden.

Kekuatiran ini layak menjadi perhatian karena penundaan Pemilu 2024 sepertinya sudah menjadi agenda pemerintah. Luhut Pandjaitan secara terang-terangan menasbihkan diri sebagai lokomotif wacana ini dan sudah melakukan komunikasi politik dengan sejumlah partai termasuk PKB, PAN dan Golkar.

Luhut mengeklaim memiliki big data di mana dari ratusan juta percakapan nitizen di media sosial, 60 persennya mendukung penundaan Pemilu 2024. Di samping soal anggarannya sangat besar, mereka yang mendukung penundaan pemilu menggunakan pandemi sebagai alasaannya.

Luhut bahkan balik menantang pihak-pihak yang berseberangan dengan pertanyaan mengejutkan, “Mengapa Jokowi harus turun?”. Seolah Luhut lupa bahwa masa jabatan presiden dibatasi oleh UU sehingga otomatis turun jika waktunya telah habis.

Jika yang dimaksud Luhut adanya permintaan Jokowi turun saat ini, maka itu hanya semacam counter terhadap isu penundaan pemilu. Artinya jika tidak ada wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden, maka suara-suara yang meminta Jokowi turun saat ini juga tidak akan ada karena menyalahi konstitusi.

Kita tidak bisa diam jika ada pihak-pihak yang ingin membegal agenda reformasi. Kita harus terus mengawasi MPR agar tidak terjadi pembajakan demokrasi yang telah susah payah dibangun dengan mengorbankan nyawa, darah dan air mata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *