Metasatu.com – Pertanyaan itu tiba-tiba saja menyeruak dan menyentak kesadaran kita. Ada beberapa hal yang membuat pertanyaan itu menjadi terasa “begitu dekat” dan “bukan mustahil”.
Seperti diketahui, Perdana Menetri Sri Lanka menyatakan negaranya Ranil Wickremesinghe dan gagal mendapat bantuan dari lembaga keuangan internasional (IMF). Bahkan Presiden Gotabaya Rajapaksa telah melarikan diri karena istananya dikepung dan diduduki massa yang marah atas berbagai kebijakannya.
Rajapaksa dituding salah urus negara dan menyebabkan utang menumpuk, cadangan devisi habis sehingga tidak bisa membiayai impor, hyperinfalasi, kelangkan serta melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok.
Selain Sri Lanka, Perserikatan bangsa-Bangsa merilis sejumlah negara yang juga terancam bangkrut. Kondisi ekonomi global pasca pandemi Covid-19, serta perang Rusia-Ukraina yang disusul embargo dan pengucilan Rusia oleh Amerika Serikat dan kawan-kawan, diyakini menjadi penyebab utamanya.
Sebab embargo dan pengucilan Rusia mendapat balasan setimpal. Rusia pun menghentikan ekspor minyak dan gas ke Eropa sebalasan. Bisa ditebak, Eropa harus mencari sumber gas ke tempat lain sehingga memicu kenaikan harga.
Industri Eropa juga terdampak sehingga harga melonjak. Belum lagi tersendatnya ekspor gandum Ukraina setelah Rusia memblokade pelabuhan utamanya setelahnya negara-negara NATO mengirimkan bantuan persenjataan ke Ukraina.
Perdana Menteri Inggris Boris Johson yang paling getol mendukung Ukraina dan mengirimkan bantuan panagn dan persenjaraan, terjungkal dari kursinya. Meski secara umum berkaitan dengan moral pembantunya, Chris Pincher, spekulasi yang menyebut adanya faktor lain tidak bisa diabaikan begitu saja.
Krisis global menjadi ancaman menakutkan bagi negara-negra berkembang yang memiliki utang besar dan kebijakan pengelolaan negara yang tidak tepat. Kewajiban pembayaran utang yang semakin besar karena merosotnya nilai tukar mata uang sebagai dampak inflasi, memaksa sejumlah negara memangkas subsidi.
Dari sinilah bermula terjadinya kekacauan itu. mendadak harga-harga kebutuhan pokok melonjak, tanpa dibarengi dengan kenaikan pendapatan. Stimulus berupa pemberian bantuan langsung tunai terbukti bukan solusi jangka panjang.
Apakah kondisi Sri Lanka terjadi di Indonesia? Saat ini utang luar negeri Indonesia sudah menyentuh Rp 7.000 trilun dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 39 persen. Meski secara undang-undang masih jauh datri batasan 60 persen, tetapi beberapa negara dengan potensi kebangkutan seperti Pakistan dan Afganistan memiliki rasio utang terhadap PDB jauh lebih rendah.
Pemerintah juga telah mengurangi subsidi di berbagai sektor dengan alasan untuk membangun infrastuktur. Dampaknya sangat terasa pada lonjakan sejumlah bahan pangan. Belum lagi ironi minyak goreng yang sampai saat ini belum dapat diatasi oleh pemerintah meski telah mengganti Menteri Peragangan.
Indonesia masih memiliki cadangan devisi yang cukup untuk membiaya ekspor dan impor hingga 6 bulan ke depan. Tentu menjadi kabar yang baik. Tetapi jika merosotnya nilai tukar rupiah yang kini berada di rentang 14.500 – 15.050 per dolar Amerika, sangat mengkhawatirkan.
Indonesia tidak akan bangkrut secara ekonomi. Tetapi jika pencabutan subsidi dan pembatasan pembelian melalui aplikasi yang belum familiar bagi masyarakat, terus berlanjut, bukan mstahil akan menjadi penyebab krisis sosial dan politik.
Terlebih, di tengah tekanan ekonomi, pemerintah dan DPR terus menggunakan kekuasaannya untuk melahirkan prouk-produk hukum da perundang-undangan yang menyebabkan pro-kontra. Sebut saja revisi KUHP yang disertai dengan kembali pasal penghinaan terhadap presiden.
Padahal pasal tersebut sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dan mendapat penolakan keras dari masyarakat di tahun 2019 lalu sehingga pemerintah menarik kembali. Jika Rancangan KUHP dengan pasal penghinaan terhadap presiden tetap disahkan, gelombang unjuk rasa akan terjadi dan isu-isu ekonomi akan tertaut di dalamnya.
Kita berharap pemerintah bisa lebih bijak dengan mengurangi produk-produk kontriversial dan lebih fokus membenahi sektor ekonom agar musim kebangkrutan negara tidak singgah di negeri tercinta. Jangan lupa, Indonesia sudah mengalami beberapa kali pergantian presiden secara paksa, dimulai dari Soekarno, Soeharto hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kita tidak ingin menyaksikan lagi hal demikian itu lagi.