JAKARTA, Metasatu.com – Kebiasaan DPR membahas undang-undang dalam waktu singkat kembali terjadi. Pembentukan 3 daerah otonomi baru (DOB) hanya dibahas dalam waktu 2,5 bulan. Beragam aspirasi pun diabaikan sebagaimana pengesahan omnibus law Cipta Kerja yang akhirnya menuai masalah.
Ketiga provinsi yang disahkan, Rabu (30/6/2022) adalah Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Tengah yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua. Dengan demikian ditambah Provinsi Papua Barat, saat ini ada 5 provinsi di Pulau Cendrawasih.
Padahal rencana pemekaran yang digulirkan pemerintah pusat sempat mendapat penolakan dan protes keras dari mahasiswa dan masyarakat papua. Mereka menuding pemekaran itu mengabaikan aspirasi masyaralat dan memiliki tujuan terselubung untuk mengeksploitasi bumi Papua.
Para demonstran juga menyebut, DOB akan memberi jalan masuknya aparat yang lebih besar. Hal itu kontra dengan keinginan masyarakat yang menolak pengerahan pasukan seperti pernah disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe.
Sebagai informasi, Papua dan Papua Barat memperoleh status otonomis khusus (Otsus) melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Dalam peraturan itu, pemekaran wilayah di Papua hanya dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara yang atas amanat otonomi khusus menjadi representasi kultural orang asli Papua (OAP).
Dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008. Lalu, pada 2021 lalu, bertepatan dengan usainya Otsus, evaluasi pun dilakukan. Hasil evaluasi oleh Jakarta, UU Otsus dinilai perlu direvisi lagi oleh DPR RI, menghasilkan sejumlah perubahan baru terkait pelaksanaan otsus di Papua.
Beleid tentang pemekaran wilayah, misalnya, dimodifikasi. Selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Evaluasi dan revisi ini disebut tanpa melibatkan orang Papua, dalam hal ini melalui MRP.
MRP pun menggugat UU Otsus ini ke Mahkamah Konstitusi sejak tahun lalu dan proses ajudikasi masih berjalan hingga sekarang. Kalangan pemerhati Papua dan pegiat hak asasi manusia menilai idealnya pemerintah dan DPR menunda pembahasan pemekaran Papua hingga putusan Mahkamah Konstitusi diketuk.
MRP justru baru dilibatkan pada bulan ini, ketika mereka menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, 22 Juni 2022. Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Ginsang mengeklaim MRP setuju atas pemekaran ini. Namun, MRP justru menyatakan sebaliknya.
“Terkait pemekaran di Papua terjadi pro dan kontra saat ini, namun sesuai fakta di lapangan di beberapa wilayah di Papua kita tahu sendiri mayoritas rakyat Papua tegas menolak pemekaran DOB (daerah otonomi baru), dibanding mereka yang dukung,” kata Ketua MRP Timotius Murib, dikutip situs resmi MRP.
“Pemekaran merupakan produk buru-buru akibat perubahan Otsus jilid 2 yang sepihak di lakukan oleh DPR RI, tanpa kajian ilmiah terkait pembentukan DOB. Proses DOB ini harus dipending sampai harus ada putusan Mahkamah Konstitusi,” tuding Timotius.